Mungkin kau akan berpikir aku adalah
orang yang paling beruntung di dunia. Kehidupan yang serba berkecukupan bahkan
terbilang mewah dan juga keluarga yang menyenangkan. Segala fasilitas yang aku
butuhkan selalu tersedia, tak pernah kekurangan.
Tapi
itu semua jika kau melihat dari luar saja dan saat kau tahu bagaimana keadaanku
yang sebenarnya, aku hanyalah seseorang
yang begitu rapuh. Apalagi saat kejadian-kejadian menyesakkan itu datang
bertubi-tubi, aku semakin merasa kalau aku bukanlah apa-apa.
...
Pagi
itu seperti pagi-pagi biasanya, aku duduk di depan meja makan sambil
mengutak-atik kameraku.
“
Kau jadi ikut lomba fotografi itu, Dim?” tanya Tara, saudaraku.
“
Begitulah,” jawabku tanpa sedikitpun menoleh padanya.
Untuk
beberapa saat, hening. Tak ada suara di antara kami hingga ayah mulai
berbicara, lebih tepatnya berpidato atau mungkin berceramah... entahlah. Aku
tak begitu peduli.
“
Dim, sebaiknya kau jangan bermain-main lagi dengan kameramu itu, perhatikan
belajarmu. Sebentar lagi kau ujian, ayah harap kau tahu apa yang harus kau
lakukan.”
“
Ini hobi yah, dan Dimas tahu apa yang harus Dimas lakukan,” jawabku ketus.
“
Ayahmu benar Dim, jangan sampai kau mengesampingkan belajarmu,” bundapun ikut
menambahkan. Aku semakin tak peduli dengan semua ucapan mereka.
“
Mengherankan sekali, kenapa kalian sangat berbanding terbalik padahal kalian
itu saudara kembar. Tara selalu bisa menghasilkan sesuatu yang membanggakan,
prestasi yang baik, dan ayah pikir dia bisa mendapat beasiswa ke luar negri.
Tapi coba lihat dirimu Dim, kau sangat jauh berbeda dengan Tara. “
“
Yah,” bunda memotong ucapan ayah yang semakin lama semakin membuat hatiku
panas. Tapi ayah tak menggubris dan tetap mencelaku habis-habisan.
“
Yang kau tahu hanyalah menghambur-hamburkan uang ayah untuk hal yang tak
berguna, untuk hobi konyolmu itu yang bahkan tak menjamin masa depanmu besok.”
“
Fotografer yah, Dimas mau jadi fotografer. Dan asal ayah tahu, ini bukan hanya
sekedar hobi konyol. Ini impian yah,” sanggahku sinis.
“
Impian macam apa itu! Kau pikir ayah menyekolahkanmu untuk jadi apa?! Dokter,
dosen, arsitek, apa saja asal jangan menjadi seseorang yang tidak jelas
tujuannya. Yang ayah minta darimu hanyalah belajar Dim, ayah rela membelikanmu
berapapun kamera asal kau mau belajar.
Jangan hanya malas-malasan! Mengerti!”
“
Sudahlah yah, sabar,” bunda menggenggam tangan ayah. Tampak sedikit bergetar.
“
Ayah harap kau bisa bercermin pada Tara, kakakmu. Contohlah dia, jadilah
seperti dia!”
“
Cukup ayah!” Tara yang sedari tadi diam terpaku akhirnya angkat bicara. Ia
mencoba membelaku, tapi bagiku itu lebih seperti pembelaan pada dirinya sendiri
agar aku tak menyalahkannya. Tapi tetap saja, aku tak peduli.
Aku
segera menghambur keluar dari ruang makan yang sudah serasa seperti neraka itu.
Aku muak dengan semua omongan ayah, hanya ada Tara, Tara, dan Tara. Ayah pikir
aku tak punya perasaan?!
“
Dimas, tunggu!” Tara berteriak tepat sebelum aku melaju dengan motorku. “ Kau
tak perlu mendengarkan semua ucapan ayah, yang perlu kau lakukan hanyalah
menjadi dirimu sendiri.”
“
Apa pedulimu!” aku segera menancapkan gas dan tak peduli lagi dengan
teriakan-teriakan Tara.
...
Di
sepanjang jalan aku hanya memikirkan ucapan ayah saat sarapan tadi. Terkadang
aku bertanya-tanya kenapa ayah begitu bangga pada Tara dan begitu kecewa
padaku. Tentu saja aku tahu benar jawabannya. Tara begitu sempurna di mata ayah
sedangkan aku, apapun yang kulakukan selalu dianggapnya sebagai suatu
kesalahan. Hanya saja yang tidak pernah ku tahu, kenapa ayah begitu membenciku? Kenapa harus aku yang ayah benci?
Dan
perkataan ayah pagi tadi... Sebenarnya aku sudah terbiasa mendengar
omelan-omelan ayah tiap hari. Tapi hari ini, omelan-omelan itu berubah menjadi
cacian. Ia begitu membanding-bandingkan antara aku dengan Tara. Aku tak
menyangka ayah begitu teganya meluncurkan kata-kata yang sangat mengena dari
mulutnya.
Menghanbur-hamburkankan
uang, hobi konyol, orang yang tak jelas tujuannya, pemalas. Apakah aku memang
benar seperti itu? Atau aku terlalu egois hingga tak menyadarinya?
Tapi,
kenapa ayah tak pernah bisa mengerti?
Aku
tak bisa menjadi Tara, menjadi seperti Tara pun aku tak bisa. Meski kami adalah
saudara kembar, kami memiliki pribadi yang berbeda. Begitu pula dengan
perlakuan ayah terhadap kami, sangat jauh berbeda sampai-sampai aku mengira
kalau Tara telah merebut ayah dariku. Perhatiannya, kasih sayangnya, cintanya,
dan segalanya.
Hhh...
Aku membiarkan pikiranku mengalir dengan sendirinya hingga tak terasa aku sudah
berada di depan gerbang sekolah.
...
Aku sedang duduk-duduk
di tangga sekolah ketika seseorang menepuk bahuku. Aku sedikit terlonjak kaget,
seluruh lamunanku buyar juga pikiran-pikiran yang membuatku benar-benar pusing.
“ Hei,” sapanya. Seorang
gadis, wajahnya masih terasa asing bagiku. “ Ini, terima kasih dan maaf aku
terlambat mengembalikannya,” kata gadis itu sambil menyodorkan sebuah buku
padaku.
“ Apa,” aku
terheran-heran.
“ Ini, bukumu. Kau
lupa?”
“ Buku? Buku apa?”
alisku berkerut semakin heran.
“ Kau meminjamkannya
padaku dua hari lalu. Apa kau benar-benar lupa?”
Sepertinya aku mulai
mengerti. “ Baiklah, nanti akan kuberikan buku ini pada Tara,” aku mengambil
buku dari tangan gadis itu.
“ Tara? Tunggu dulu, kau
ini Tara, kan?” gadis itu terlihat bingung. “ Kau... saudara kembar Tara?”
“ Menurutmu?” aku
beranjak meninggalkan gadis yang masih kebingungan itu. Aku berjalan menyusuri
koridor sekolah sambil sesekali membidikkan kameraku jika ada hal-hal menarik
yang bisa kufoto.
“ Kau benar-benar
saudara kembar Tara?” gadis itu berusaha menjajari langkahku.
“ Kau pikir aku
menipumu?”
“ Bukan begitu, tapi...”
belum sempat ia selesai berbicara....
“ Dinda!” seseorang
berteriak dari arah punggungku. Tara.
Tara berlari-lari kecil
ke arah kami. “ Kalian sudah saling kenal?” katanya sambil tersenyum. “ Kau mengenalnya, Dim?”
“ Maksudmu dia?” aku
menunjuk gadis itu dengan daguku.
“ Ya, dia siswi baru
disini. Rupanya kau belum mengenalnya, tapi wajar saja jika kau tak
mengenalnya. Nama gadis-gadis di kelas kita saja kau tak bisa mengingatnya,”
gurau Tara.
“ Hah?” gadis itu
tertawa pelan. “ Kenapa begitu?”
“ Bagaimana bisa dia
mengingat, setiap ada gadis yang mendekat saja dia selalu memasang wajah
harimaunya. Menyeramkan.”
“ Hentikan bualanmu. Dan
ini, ambil bukumu,” kataku lalu menyerahkan buku pada Tara acuh tak acuh.
“ Kalian lucu sekali,”
gadis bernama Dinda itu masih tertawa. “ Kalau begitu, perkenalkan namaku
Dinda. Kuharap kau bisa mengingatnya,” ia mengulurkan telapak tangannya padaku.
“ Dimas,” akupun
menyambut uluran tangannya.
Inilah awal perkenalanku
dengannya, Dinda. Menurutku dia gadis yang polos, tapi tingkahnya selalu bisa
membuatku tersenyum. Dan setelah beberapa hari mengenalnya, sepertinya aku
memiliki perasaan padanya meski hanya sebatas rasa simpati saja, atau mungkin
lebih dari itu... entahlah. Hanya saja, aku merasa dia memberikan perhatian
istimewa padaku.Atau mungkin dia memang selalu bersikap seperti itu pada semua
orang, termasuk Tara.
Hhh... Aku rasa aku
terlalu percaya diri menganggap ia perhatian padaku, mungkin ini pelampiasanku
karena aku tak pernah mendapatkannya dari orang-orang terdekatku. Kasih sayang
dan perhatian. Terutama dari ayah, ayah yang hanya memandangku sebelah mata.
...
Hari-hariku
berjalan seperti biasanya. Ya, seperti biasa omelan dan cacian ayah selalu
menjadi menu utama sarapanku. Kurasa aku
mulai kebal dengan semua ucapan ayah, terserah apa yang dikatakannya aku
tak akan peduli.
Dan
Tara, ia selalu mencoba membelaku tapi menurutku itu menyebalkan. Ia bertindak
seperti pahlawan. Sok pahlawan. Namun, terkadang aku merasa diapun tak nyaman
jika dilebih-lebihkan dihadapanku oleh ayah.
Tak
ada seorangpun yang bisa diandalkan di rumah. Kecuali bunda, dialah
satu-satunya orang yang mengerti keadaanku. Bunda selalu mencoba membuat ayah
mengerti tapi ayah tak pernah mau mendengarkan. Karena ayah egois, selalu
memaksakan kehendaknya, tak mau peduli
terutama padaku, dan ayah selalu merasa kalau dia tahu segalanya meski harus
kuakui dia memang lebih banyak makan asam garam kehidupan dibandingkan aku.
Pernah
suatu kali ayah memanggilku ke ruang tengah.
“
Kenapa yah?” tanyaku sedikit tak berminat.
“
Ini, ambillah,” ayah meletakkan sesuatu di atas meja. Kamera. “ Ini model
terbaru, ayah harap kau menyukainya.”
“
Apa maksud ayah?” aku merasa ayah menginginkan sesuatu.
“
Ambil saja, ayah tak mau dianggap tak peduli pada anaknya. Jadi, ini untukmu,”
ayah menggeser kamera itu padaku. “ Satu hal lagi, ayah harap kau lebih serius
lagi untuk belajar. Karena ayah mau kau masuk fakultas kedokteran di
universitas negri tahun depan.”
Aku
sudah bisa menduganya, rasanya tak mungkin ayah memberiku kamera dengan
cuma-cuma. “ Maaf ayah, tapi aku sama sekali tak tertarik lagipula kameraku
yang lama masih berfungsi dengan baik. Mungkin ayah bisa memberikannya pada
Tara, bukankah dia lebih pantas? Lagipula masuk fakultas kedokteran itu pasti
sangat mudah baginya,” kataku sinis. Aku menatap Tara sesaat dan beralih masuk
ke kamar.
Keesokan
harinya Tara masuk ke kamarku dengan membawa kamera pemberian ayah.
“
Mungkin suatu saat kau memerlukannya,” katanya sambil meletakkan kamera itu di
atas meja. Ia berdiri memandangku sejenak lalu pergi.
Begitulah,
hubunganku dengan ayah tak pernah harmonis begitu juga hubunganku dengan Tara.
Aku selalu merasa iri padanya, mungkin karena itulah aku selalu bersikap sinis
padanya.
Aku
sempat berpikir kalau hidupku tak akan pernah berubah, tidak tenang. Tapi,
sejak ada Dinda aku jadi berubah pikiran. Aku selalu merasa nyaman berada
didekatnya. Bagiku, dia teman mengobrol yang baik. Dia mau mendengarkan semua
keluhku. Aku tak tahu kenapa aku bisa nyaman menceritakan semuanya pada Dinda,
termasuk soal perlakuan ayah padaku. Padahal sebelumnya, tak ada seorangpun
yang bisa kupercaya. Entahlah, aku hanya butuh didengarkan.
…
Dua
bulan berlalu, kenyataan pahit itu akhirnya datang juga. Siang itu, dua orang
polisi mendatangi rumah kami. Mereka membawa surat keterangan penahanan untuk
ayah. Mereka mengatakan bahwa ayahku telah melakukan korupsi di perusahaan
tempat ia bekerja.
Saat
itu juga aku ingin lenyap saja dari muka bumi. Awalnya aku tak percaya dengan
semua ini, tapi ini nyata. Bahkan ayah sedikitpun tak mengelak saat kedua
polisi itu memborgol tangannya.
“
Maafkan ayah,” kata ayah sesaat sebelum ia pergi. Sama sekali tak merasa
bersalah.
Kami
hanya menatap kepergian ayah dengan perasaan yang tak karuan. Bunda tak
henti-hentinya menangis di pelukan Tara. Aku segera masuk kamar dan membanting
pintu.
Aku
bingung, aku tak tahu apa yang kurasakan. Sedih, marah, kecewa, iba, entahlah.
Aku hanya ingin semua ini berakhir, semua penderitaan ini hilang.
Ayah
yang selama ini selalu mendorong anak-anaknya untuk menjadi orang sukses, orang
yang memiliki masa depan, ayah yang selalu menuntut kami menjadi sempurna di
matanya ternyata adalah seorang koruptor. Seorang pelaku kriminal. Aku tak
pernah membayangkan itu semua sebelumnya. Membayangkan bahwa harta yang ayah
berikan pada kami adalah harta haram.
Penderitaanku
tak hanya sebatas itu saja, ternyata berita tentang korupsi ayahku sudah
merembet ke sekolah. Aku tak tahu bagaimana itu terjadi. Yang jelas, aku dan
Tara sekarang menjadi bahan bicaraan teman-teman sekolah. Mereka memandang kami
seolah-olah kami ini penjahat. Bukankah yang korupsi itu ayah?
…
Disinilah
aku sekarang, berdiri sendirian di atas gedung sekolah. Mataku menatap kosong
jalanan di bawah sana.
“
Sedang apa?” tanya seseorang. Dinda.
Aku
menoleh. “ Tidak ada,” kataku sambil kembali menatap jalanan. Aku membidikkan
kamera ke pemandangan di depan sana.
“
Din, kenapa hidup itu begitu sulit?” tanyaku tanpa menoleh padanya.
“
Jika kau merasa hidupmu begitu sulit, sebenarnya kau belum tahu saja kalau di
luar sana masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih sengsara darimu.”
“
Cobaan itu begitu berat. Aku selalu bersabar mendengar semua cacian ayah, tapi
sekarang, ternyata ayahku...” aku mendesah pelan, “ aku tak tahu lagi harus
bagaimana.”
“
Akupun pernah merasakan apa yang kau rasakan sekarang. Merasa kenapa Tuhan
memberi cobaan seperti ini. Tapi aku selalu mencoba meyakinkan diriku, bahwa
hanya diri kita sendirilah yang mampu menghadapinya. Bukan orang lain.”
“
Lalu, apa yang harus kulakukan,” tanyaku datar. Pandanganku menerawang jauh.
“
Jalani saja. Jalani hidupmu seperti air mengalir.”
“
Maksudmu, pasrah?” aku menoleh heran padanya.
Dia
tersenyum. “ Jalani hidupmu seperti air mengalir. Air yang punya energi,
punya kekuatan. Jika kau harus mendaki
bukit, maka dakilah.”
Akupun
tersenyum padanya, aku mulai mengerti apa maksud ucapannya.
“
Berusahalah, Dim. Lakukan yang terbaik apapun yang terjadi. Jangan pernah
terpuruk karena keadaan. Yakinkan dirimu.”
“
Terima kasih, Din.”
Hatiku
kini sedikit lebih lega. Perkataan Dinda memberiku semangat untuk bangkit lagi.
Dinda benar. Tak ada gunanya meratapi hal yang sudah berlalu, yang perlu
kulakukan sekarang adalah memperbaiki untuk hari esok.
Kuatkan
diri dan berusaha, aku yakin aku bisa menghadapi segalanya. ~
Tulisan Masa SMA
*tugas bikin cerpen