Kamis, 09 Februari 2017

Ayah

Mungkin kau akan berpikir aku adalah orang yang paling beruntung di dunia. Kehidupan yang serba berkecukupan bahkan terbilang mewah dan juga keluarga yang menyenangkan. Segala fasilitas yang aku butuhkan selalu tersedia, tak pernah kekurangan.
            Tapi itu semua jika kau melihat dari luar saja dan saat kau tahu bagaimana keadaanku yang sebenarnya,  aku hanyalah seseorang yang begitu rapuh. Apalagi saat kejadian-kejadian menyesakkan itu datang bertubi-tubi, aku semakin merasa kalau aku bukanlah apa-apa.

...

            Pagi itu seperti pagi-pagi biasanya, aku duduk di depan meja makan sambil mengutak-atik kameraku.
            “ Kau jadi ikut lomba fotografi itu, Dim?” tanya Tara, saudaraku.
            “ Begitulah,” jawabku tanpa sedikitpun menoleh padanya.
            Untuk beberapa saat, hening. Tak ada suara di antara kami hingga ayah mulai berbicara, lebih tepatnya berpidato atau mungkin berceramah... entahlah. Aku tak begitu peduli.
            “ Dim, sebaiknya kau jangan bermain-main lagi dengan kameramu itu, perhatikan belajarmu. Sebentar lagi kau ujian, ayah harap kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
            “ Ini hobi yah, dan Dimas tahu apa yang harus Dimas lakukan,” jawabku ketus.
            “ Ayahmu benar Dim, jangan sampai kau mengesampingkan belajarmu,” bundapun ikut menambahkan. Aku semakin tak peduli dengan semua ucapan mereka.
            “ Mengherankan sekali, kenapa kalian sangat berbanding terbalik padahal kalian itu saudara kembar. Tara selalu bisa menghasilkan sesuatu yang membanggakan, prestasi yang baik, dan ayah pikir dia bisa mendapat beasiswa ke luar negri. Tapi coba lihat dirimu Dim, kau sangat jauh berbeda dengan Tara. “
            “ Yah,” bunda memotong ucapan ayah yang semakin lama semakin membuat hatiku panas. Tapi ayah tak menggubris dan tetap mencelaku habis-habisan.
            “ Yang kau tahu hanyalah menghambur-hamburkan uang ayah untuk hal yang tak berguna, untuk hobi konyolmu itu yang bahkan tak menjamin masa depanmu besok.”
            “ Fotografer yah, Dimas mau jadi fotografer. Dan asal ayah tahu, ini bukan hanya sekedar hobi konyol. Ini impian yah,” sanggahku sinis.
            “ Impian macam apa itu! Kau pikir ayah menyekolahkanmu untuk jadi apa?! Dokter, dosen, arsitek, apa saja asal jangan menjadi seseorang yang tidak jelas tujuannya. Yang ayah minta darimu hanyalah belajar Dim, ayah rela membelikanmu berapapun kamera  asal kau mau belajar. Jangan hanya malas-malasan! Mengerti!”
            “ Sudahlah yah, sabar,” bunda menggenggam tangan ayah. Tampak sedikit bergetar.
            “ Ayah harap kau bisa bercermin pada Tara, kakakmu. Contohlah dia, jadilah seperti dia!”
            “ Cukup ayah!” Tara yang sedari tadi diam terpaku akhirnya angkat bicara. Ia mencoba membelaku, tapi bagiku itu lebih seperti pembelaan pada dirinya sendiri agar aku tak menyalahkannya. Tapi tetap saja, aku tak peduli.
            Aku segera menghambur keluar dari ruang makan yang sudah serasa seperti neraka itu. Aku muak dengan semua omongan ayah, hanya ada Tara, Tara, dan Tara. Ayah pikir aku tak punya perasaan?!
            “ Dimas, tunggu!” Tara berteriak tepat sebelum aku melaju dengan motorku. “ Kau tak perlu mendengarkan semua ucapan ayah, yang perlu kau lakukan hanyalah menjadi dirimu sendiri.”
            “ Apa pedulimu!” aku segera menancapkan gas dan tak peduli lagi dengan teriakan-teriakan Tara.

...

            Di sepanjang jalan aku hanya memikirkan ucapan ayah saat sarapan tadi. Terkadang aku bertanya-tanya kenapa ayah begitu bangga pada Tara dan begitu kecewa padaku. Tentu saja aku tahu benar jawabannya. Tara begitu sempurna di mata ayah sedangkan aku, apapun yang kulakukan selalu dianggapnya sebagai suatu kesalahan. Hanya saja yang tidak pernah ku tahu, kenapa ayah begitu  membenciku? Kenapa harus aku yang ayah benci?
            Dan perkataan ayah pagi tadi... Sebenarnya aku sudah terbiasa mendengar omelan-omelan ayah tiap hari. Tapi hari ini, omelan-omelan itu berubah menjadi cacian. Ia begitu membanding-bandingkan antara aku dengan Tara. Aku tak menyangka ayah begitu teganya meluncurkan kata-kata yang sangat mengena dari mulutnya.
            Menghanbur-hamburkankan uang, hobi konyol, orang yang tak jelas tujuannya, pemalas. Apakah aku memang benar seperti itu? Atau aku terlalu egois hingga tak menyadarinya?
            Tapi, kenapa ayah tak pernah bisa mengerti?
            Aku tak bisa menjadi Tara, menjadi seperti Tara pun aku tak bisa. Meski kami adalah saudara kembar, kami memiliki pribadi yang berbeda. Begitu pula dengan perlakuan ayah terhadap kami, sangat jauh berbeda sampai-sampai aku mengira kalau Tara telah merebut ayah dariku. Perhatiannya, kasih sayangnya, cintanya, dan segalanya.
            Hhh... Aku membiarkan pikiranku mengalir dengan sendirinya hingga tak terasa aku sudah berada di depan gerbang sekolah.

...

Aku sedang duduk-duduk di tangga sekolah ketika seseorang menepuk bahuku. Aku sedikit terlonjak kaget, seluruh lamunanku buyar juga pikiran-pikiran yang membuatku benar-benar pusing.
“ Hei,” sapanya. Seorang gadis, wajahnya masih terasa asing bagiku. “ Ini, terima kasih dan maaf aku terlambat mengembalikannya,” kata gadis itu sambil menyodorkan sebuah buku padaku.
“ Apa,” aku terheran-heran.
“ Ini, bukumu. Kau lupa?”
“ Buku? Buku apa?” alisku berkerut semakin heran.
“ Kau meminjamkannya padaku dua hari lalu. Apa kau benar-benar lupa?”
Sepertinya aku mulai mengerti. “ Baiklah, nanti akan kuberikan buku ini pada Tara,” aku mengambil buku dari tangan gadis itu.
“ Tara? Tunggu dulu, kau ini Tara, kan?” gadis itu terlihat bingung. “ Kau... saudara kembar Tara?”
“ Menurutmu?” aku beranjak meninggalkan gadis yang masih kebingungan itu. Aku berjalan menyusuri koridor sekolah sambil sesekali membidikkan kameraku jika ada hal-hal menarik yang bisa kufoto.
“ Kau benar-benar saudara kembar Tara?” gadis itu berusaha menjajari langkahku.
“ Kau pikir aku menipumu?”
“ Bukan begitu, tapi...” belum sempat ia selesai berbicara....
“ Dinda!” seseorang berteriak dari arah punggungku. Tara.
Tara berlari-lari kecil ke arah kami. “ Kalian sudah saling kenal?” katanya sambil tersenyum.  “ Kau mengenalnya, Dim?”
“ Maksudmu dia?” aku menunjuk gadis itu dengan daguku.
“ Ya, dia siswi baru disini. Rupanya kau belum mengenalnya, tapi wajar saja jika kau tak mengenalnya. Nama gadis-gadis di kelas kita saja kau tak bisa mengingatnya,” gurau Tara.
“ Hah?” gadis itu tertawa pelan. “ Kenapa begitu?”
“ Bagaimana bisa dia mengingat, setiap ada gadis yang mendekat saja dia selalu memasang wajah harimaunya. Menyeramkan.”
“ Hentikan bualanmu. Dan ini, ambil bukumu,” kataku lalu menyerahkan buku pada Tara acuh tak acuh.
“ Kalian lucu sekali,” gadis bernama Dinda itu masih tertawa. “ Kalau begitu, perkenalkan namaku Dinda. Kuharap kau bisa mengingatnya,” ia mengulurkan telapak tangannya padaku.
“ Dimas,” akupun menyambut uluran tangannya.
Inilah awal perkenalanku dengannya, Dinda. Menurutku dia gadis yang polos, tapi tingkahnya selalu bisa membuatku tersenyum. Dan setelah beberapa hari mengenalnya, sepertinya aku memiliki perasaan padanya meski hanya sebatas rasa simpati saja, atau mungkin lebih dari itu... entahlah. Hanya saja, aku merasa dia memberikan perhatian istimewa padaku.Atau mungkin dia memang selalu bersikap seperti itu pada semua orang, termasuk Tara.
Hhh... Aku rasa aku terlalu percaya diri menganggap ia perhatian padaku, mungkin ini pelampiasanku karena aku tak pernah mendapatkannya dari orang-orang terdekatku. Kasih sayang dan perhatian. Terutama dari ayah, ayah yang hanya memandangku sebelah mata.

...

            Hari-hariku berjalan seperti biasanya. Ya, seperti biasa omelan dan cacian ayah selalu menjadi menu utama sarapanku. Kurasa aku  mulai kebal dengan semua ucapan ayah, terserah apa yang dikatakannya aku tak akan peduli.
            Dan Tara, ia selalu mencoba membelaku tapi menurutku itu menyebalkan. Ia bertindak seperti pahlawan. Sok pahlawan. Namun, terkadang aku merasa diapun tak nyaman jika dilebih-lebihkan dihadapanku oleh ayah.
            Tak ada seorangpun yang bisa diandalkan di rumah. Kecuali bunda, dialah satu-satunya orang yang mengerti keadaanku. Bunda selalu mencoba membuat ayah mengerti tapi ayah tak pernah mau mendengarkan. Karena ayah egois, selalu memaksakan kehendaknya,  tak mau peduli terutama padaku, dan ayah selalu merasa kalau dia tahu segalanya meski harus kuakui dia memang lebih banyak makan asam garam kehidupan dibandingkan aku.
            Pernah suatu kali ayah memanggilku ke ruang tengah.
            “ Kenapa yah?” tanyaku sedikit tak berminat.
            “ Ini, ambillah,” ayah meletakkan sesuatu di atas meja. Kamera. “ Ini model terbaru, ayah harap kau menyukainya.”
            “ Apa maksud ayah?” aku merasa ayah menginginkan sesuatu.
            “ Ambil saja, ayah tak mau dianggap tak peduli pada anaknya. Jadi, ini untukmu,” ayah menggeser kamera itu padaku. “ Satu hal lagi, ayah harap kau lebih serius lagi untuk belajar. Karena ayah mau kau masuk fakultas kedokteran di universitas negri tahun depan.”
           Aku sudah bisa menduganya, rasanya tak mungkin ayah memberiku kamera dengan cuma-cuma. “ Maaf ayah, tapi aku sama sekali tak tertarik lagipula kameraku yang lama masih berfungsi dengan baik. Mungkin ayah bisa memberikannya pada Tara, bukankah dia lebih pantas? Lagipula masuk fakultas kedokteran itu pasti sangat mudah baginya,” kataku sinis. Aku menatap Tara sesaat dan beralih masuk ke kamar.
            Keesokan harinya Tara masuk ke kamarku dengan membawa kamera pemberian ayah.
            “ Mungkin suatu saat kau memerlukannya,” katanya sambil meletakkan kamera itu di atas meja. Ia berdiri memandangku sejenak lalu pergi.
            Begitulah, hubunganku dengan ayah tak pernah harmonis begitu juga hubunganku dengan Tara. Aku selalu merasa iri padanya, mungkin karena itulah aku selalu bersikap sinis padanya.
            Aku sempat berpikir kalau hidupku tak akan pernah berubah, tidak tenang. Tapi, sejak ada Dinda aku jadi berubah pikiran. Aku selalu merasa nyaman berada didekatnya. Bagiku, dia teman mengobrol yang baik. Dia mau mendengarkan semua keluhku. Aku tak tahu kenapa aku bisa nyaman menceritakan semuanya pada Dinda, termasuk soal perlakuan ayah padaku. Padahal sebelumnya, tak ada seorangpun yang bisa kupercaya. Entahlah, aku hanya butuh didengarkan.


            Dua bulan berlalu, kenyataan pahit itu akhirnya datang juga. Siang itu, dua orang polisi mendatangi rumah kami. Mereka membawa surat keterangan penahanan untuk ayah. Mereka mengatakan bahwa ayahku telah melakukan korupsi di perusahaan tempat ia bekerja.
           Saat itu juga aku ingin lenyap saja dari muka bumi. Awalnya aku tak percaya dengan semua ini, tapi ini nyata. Bahkan ayah sedikitpun tak mengelak saat kedua polisi itu memborgol tangannya.
            “ Maafkan ayah,” kata ayah sesaat sebelum ia pergi. Sama sekali tak merasa bersalah.
            Kami hanya menatap kepergian ayah dengan perasaan yang tak karuan. Bunda tak henti-hentinya menangis di pelukan Tara. Aku segera masuk kamar dan membanting pintu.
            Aku bingung, aku tak tahu apa yang kurasakan. Sedih, marah, kecewa, iba, entahlah. Aku hanya ingin semua ini berakhir, semua penderitaan ini hilang.
            Ayah yang selama ini selalu mendorong anak-anaknya untuk menjadi orang sukses, orang yang memiliki masa depan, ayah yang selalu menuntut kami menjadi sempurna di matanya ternyata adalah seorang koruptor. Seorang pelaku kriminal. Aku tak pernah membayangkan itu semua sebelumnya. Membayangkan bahwa harta yang ayah berikan pada kami adalah harta haram.
            Penderitaanku tak hanya sebatas itu saja, ternyata berita tentang korupsi ayahku sudah merembet ke sekolah. Aku tak tahu bagaimana itu terjadi. Yang jelas, aku dan Tara sekarang menjadi bahan bicaraan teman-teman sekolah. Mereka memandang kami seolah-olah kami ini penjahat. Bukankah yang korupsi itu ayah?


            Disinilah aku sekarang, berdiri sendirian di atas gedung sekolah. Mataku menatap kosong jalanan di bawah sana.
            “ Sedang apa?” tanya seseorang. Dinda.
            Aku menoleh. “ Tidak ada,” kataku sambil kembali menatap jalanan. Aku membidikkan kamera ke pemandangan di depan sana.
            “ Din, kenapa hidup itu begitu sulit?” tanyaku tanpa menoleh padanya.
            “ Jika kau merasa hidupmu begitu sulit, sebenarnya kau belum tahu saja kalau di luar sana masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih sengsara darimu.”
            “ Cobaan itu begitu berat. Aku selalu bersabar mendengar semua cacian ayah, tapi sekarang, ternyata ayahku...” aku mendesah pelan, “ aku tak tahu lagi harus bagaimana.”
            “ Akupun pernah merasakan apa yang kau rasakan sekarang. Merasa kenapa Tuhan memberi cobaan seperti ini. Tapi aku selalu mencoba meyakinkan diriku, bahwa hanya diri kita sendirilah yang mampu menghadapinya. Bukan orang lain.”
            “ Lalu, apa yang harus kulakukan,” tanyaku datar. Pandanganku menerawang jauh.
            “ Jalani saja. Jalani hidupmu seperti air mengalir.”
            “ Maksudmu, pasrah?” aku menoleh heran padanya.
            Dia tersenyum. “ Jalani hidupmu seperti air mengalir. Air yang punya energi, punya   kekuatan. Jika kau harus mendaki bukit, maka dakilah.”
            Akupun tersenyum padanya, aku mulai mengerti apa maksud ucapannya.
            “ Berusahalah, Dim. Lakukan yang terbaik apapun yang terjadi. Jangan pernah terpuruk karena keadaan. Yakinkan dirimu.”
            “ Terima kasih, Din.”
            Hatiku kini sedikit lebih lega. Perkataan Dinda memberiku semangat untuk bangkit lagi. Dinda benar. Tak ada gunanya meratapi hal yang sudah berlalu, yang perlu kulakukan sekarang adalah memperbaiki untuk hari esok.
            Kuatkan diri dan berusaha, aku yakin aku bisa menghadapi segalanya. ~



Tulisan Masa SMA 
*tugas bikin cerpen


Tulisan Polos

Tulisan ini adalah sedikit celotehan polos saya sebagai seorang anak yang masih belum banyak merasakan asam garam kehidupan dalam ikatan.. Sebuah tulisan yang belum sempat tersampaikan 

Malam-malam di tanggal 21 Juni 2016 (semoga tidak salah)..

Bismillah..

Mbak2 dan mas2, ini saya mau crita aja, curcol paling ya.. tentang imm, kenapa ya kok kader imm yang awalnya banyak makin kesini makin dikit (sepertinya), dan kayaknya yang ada cuma itu2 aja, yang aktif cuma itu2 aja.. Semua juga udh tau itu kayake..“uswah aktif pooo?” Not really.. gak juga sih.. nek boleh dibilang ya kadang semangat ber imm itu naik turun , kadang males juga di imm tp kadang juga pengen maen2 di imm.. “wah, uswah peduli niih..” gak juga, kadang saya juga gak peduli kok, jujur saja..ada saatnya dmna saya juga merasakan itu, tp ya gak juga terus2an kayak gitu jga sih, kadang amanah di imm juga memanggil2. Mungkin temen2 disini juga pernah merasa seperti itu.

Disini ada banyak mbak2 dan mas2 yang jauh lebih senior dari saya ,jadi sepertinya lebih tahu imm yang dulu2 spt apa daripada saya.. hehe

J Menurut saya, kenapa kok kader imm bisa sperti itu .. itu bisa jadi kebiasaan kita di imm. Misalnya, kadang kalau rapat atau acara apa2 mesti telat alias molor, dan molornya bisa sampai sejam atau dua jam (atau bahkan lebih). Karetnya sungguh sangat elastis. Hhehe.. “uswah always ontime po?” tentu saja tidak, karena kadang saya berpikir ‘paling juga belum ada yang datang, belum mulai’.. (ini saya beneran lho mesti mikir kayak gitu) tapi kalau semua mikir kayak gitu lantas siapakah yang akan mengawali? Pas awal-awal jadi kader baru, sepertinya pikiran ‘paling juga belum ada yang datang’ itu kayaknya gak ada (kayaknya lhoo, tapi saya lupa), tapi stelah beberapa lama ada di pk..yaa pikiran itu datang..hehe.. mungkin karena kebiasaan dan sudah siklusnya seperti itu..klo udah smakin tidak kader baru lagi ya smakin santai (tidak semua kader imm kayak gini). Tapi apakah yang namanya siklus itu harus seperti itu? .tapi saya gak bisa asal menyalahkan, kadang kenapa terlambat dan kenapa belum bisa dimulai tepat waktu ya karena ada alasan tertentu yang menjadikan itu belum bisa dimulai (???) intinya gitu. Bingung bilangnya. Nah, berkaitan sama masalah molor dan telat ini.. ini nih kenapa saya pengen crita disini, selepas musykom abad tadi ada temen saya (temen kita) yang bilang ke saya.. intinya setelah kita ngobrol2 trus nyambung2 bilang kalau beliau ini sdh tdak di imm lagi dan sudah berpindah haluan di pergerakan sebelah karena kalo di imm sukanya molor waktunya (tiga jam lagi). Mungkin mbak2 dan mas2 sdah banyak menemukan temen2 yang seperti ini. Kayaknya biasa aja sih, tapi bagi saya.. karena orang ini langsung bilang ke saya dan ini saya pertama kali ada yang bilang ke saya ..ya itu kan giman gitu jadinya..sedikit shock ,haha (oooh, jadi yang kayak gitu beneran ada po? ‘ya iya lah). saya kan jadi menduga2 ‘jadi selama ini dia gak pernah pake jaket imm di kampus tuh karena itu to’..tapi kan ya gak juga, malah suudzon kan, ada saatnya jaket imm itu dicuci, dijemur, disetrika, dilipat, trus dimasukin lemari (dan gak pernah dikeluarin lagi..*eh)..gak mungkin kan di pake terus –ini intermezzo ajah hhe.. mungkin, pergerakan lain punya sesuatu yang membuat nyaman buat beliau ini yang tidak ditemukan di imm, penghargaan terhadap waktunya itu lho (mungkin). Salah po kalo berpindah haluan? Ya tidak juga sih sepertinya, masing2 punya pilihan dan berhak milih kan. Lagian, kan enak bisa dititipin surat undangan Stadium General Musykom buat eksternal nya, hhe. Pada intinya, kenapa sih yang baik itu tidak kita ambil saja. Meski susah sepertinya, memang. Saya juga masih belajar, karena saya memang sukanya telatan.. telat kuliah, telat masuk asrama, telat rapat, dan lain sebagainya (buka kartu ..hmm). tapi, sepertinya beliau ini Cuma bercanda kok..tidak benar2 keluar dari imm atau muhammadiyah.. emangnya, klo yg bener2 kluar dr imm itu yg gimana to? Caranya gimana to? Apa karena gak pernah datang ke imm lgi trus dianggap (*kita anggap) udah kluar dari imm? Hmm.. secara strukturalnya aja yang sudah gak di imm, tapu secara kultural masih ber muhammadiyah kok ..hehe.. calm down guys

J Saya sering denger dari temen2 klo ada temennya yang bilang ‘udah gak enakan lagi klo mau main ke imm, kan aku udah gak pernah keliatan, gak pernah ikut rapat..’ temen saya juga ada kok yang bilang gtu. Yang disini mungkin juga pernah ada yang temennya gtu, saya juga pernah ngrasa gtu . hmm.. mungkinkah ada yang salah dengan kita ketika memandang teman2 yang jarang kita jumpai di imm? Memandang dalam arti yang sebenarnya maupun dalam arti yang lainnya. Mungkin secara tidak sadar pandangan, lirikan, kedipan, sorotan mata, tengokan, gelengan, anggukan, ekspresi, sikap, tingkah, ucapan, nada, intonasi suara dan perbuatan maupun gojekan alias guyonan kita membuat teman2 kita yang jarang kelihatan ini merasa tidak nyaman bahkan tersinggung. Nah, sebenarnya.. bagaimana sih meyakinkan temen2 kalo imm tuh terbuka buat semuanya, mau gak pernah dateng kek dateng terus kek.. imm masih menerima kok, membutuhkan malah. Kembalilah ,kita ini keluarga, mau kamu jarang pulang kek, atau sedikit2 pulang kek.. kembalilah, pintu ini terbuka buat semuanya.. hehe. Atau gimana ya bahasanya. “uswah gak pernah nyinggung po?” haduh gimana ya., ya pernah dong (kok bangga ya?) malahan saya merasa membuat orang salah sangka dengan ekspresi saya yang jutek judes gak bisa bohong kalo lagi capek tegang serius nglamun bingung bengong ngrasa udah senyum padahal belum atau Cuma setengah2 gak ikhlas(gak bawa kaca sih) dan lain sebagainya (buka kartu..*lagi), kan bisa saja saya menyinggung teman2. Maafkan saya ya. Khilaf. Manusiawi... sebagai orang yang (mungkin) pernah juga jarang dijumpai di imm, gak bisa juga klo kita terus2an nyalahin orang lain dgn cara mereka menyambut kita yng mungkin kita gak nyaman.. jangan lekas suudzon. nah klo sudah gini mungkin kita akan mencari tempat2 yang lebih nyaman untuk disinggahi,. Bukan berarti kita tdk boleh punya rumah lain, hanya saja..sadarkah anda bahwa asap dapur rumah ini juga perlu untuk dikepulkan? Rumah ini juga butuh kamu.. iya kamu.. “uswah udah mengepulkan asap dapur rumah imm?” tidak juga, cara mengepulkan asap gimana juga masih belajar.. sama2 belajar untuk bertahan dirumah ini dengan berbagai macam penghuni yang punya wajah berbeda satu sama lain yang otomatis ekspresi nya juga beda, udah gtu aja. Hoho

J Sebagai anggota keluarga, mesti kita membutuhkan orang atau sosok yang bisa dijadikan panutan maupun yang bisa mengayomi, ada di saat suka maupun duka (*alay). Iya gak sih? Klo menurut saya sih iya, beberapa temen juga sepertinya berpendapat sama. Jika boleh saya sedikit bercerita, mungkin nantinya akan ada sedikit pembandingan (mohon maaf sebelumnya), ketika berada di keluarga internal kampus (terutama di keluarga kerohanian islam) kita bisa benar2 menjadi adik yang diayomi dibina diajari meskipun terkadang juga sikap yang seperti itu klo terus2an juga tidak nyaman. Sedangkan di keluarga imm ini, kita benar2 belajar untuk mandiri dan menjadi pribadi yang benar2 tangguh luar biasa. Kita dituntut (aduuh, bukan dituntut juga sih bahasanya, diharuskan … atau terpaksa yaa?.. ah tau lah ,,intinya itu) kita dituntut untuk bisa melakukan sesuatu sendiri, ..bukan berarti apa2 lho ya. Mungkin, ini memang salah satu jalan sebagai penyeimbang, dimana di satu tempat kita diberi sikap demikian dan di lain tempat kita dituntut untuk bisa bersikap demikian.. haduh gak jelas ya ..hhaha. tapi justru disinilah saya jadi bisa belajar untuk menjadi generasi yang mandiri dan tidak manja (meski belum sempurna.. tsssaahhh). Pada intinya, segala sesuatu itu memang ada kurang dan lebihnya tinggal bagaimana kitanya yang dapat menyikapi dan mengambil hikmah.


*mohon maaf karena merk yang tersebut, semoga menjadi bahan evaluasi terutama bagi diri saya sendiri 
love you guys.. hoho




Selasa, 07 Februari 2017

Terus Udah (?)

Betapa hidup ini penuh dengan keformalitasan..

Belajar hanya sekedar belajar, hanya buat formalitas aja biar bisa lulus dan dapat gelar, lalu kerja.. Terus udah (?)

Bekerja hanya sekedar bekerja, hanya buat formalitas aja biar bisa punya uang dan beli kebutuhan, hidup makmur.. Terus udah (?)

Bahkan ibadah hanya sekedar ibadah, hanya buat formalitas aja biar sah disebut beragama, biar dipandang baik dimata orang, biar gugurlah semua kewajiban.. sukur-sukur dapat jodoh yang juga suka ibadah, terus punya anak.. Terus udah (?)

Lama-lama makan juga hanya sekedar makan, hanya buat formalitas aja biar bisa kenyang dan tetap hidup, lalu kalau memang sudah waktunya mati, ya udah, mati (baca: meninggal dunia).. Terus udah (?)

Apa sih yang sebenarnya kita cari dalam hidup? Tak bisakah kita mengambil makna dan ibrah dari setiap tindakan yang kita lakukan?

Atau hanya sekedar hidup dan bahagia saja.. Terus udah (?)

Kalau sekedar hidup mah ikan di laut juga hidup, yang penting dapat makan, berkembang biak, terus kalau kejaring atau kepancing.. Ya udah.. Selesai dah kisah hidupnya

Betapa hidup ini akan sia-sia kalau kita tak punya tujuan dan tuntunan..

Kenapa dan buat apa kita hidup di dunia?

Perjalanan Hijrah (Untuk Siapa?)

“Memantaskan Diri Untuk Mendapat Jodoh Yang Pantas Pula”

Salahkah jika niat kita demikian? Innamal a’maalu bin niyaat..

Ketika hati mulai tergerak untuk berhijrah. Ketika hati mulai mengagumi dan menaruh simpati empati pada sosok yang senantiasa dekat dengan Rabb nya. Ingin rasanya menjadi seperti itu yang akhirnya mengantarkan diri untuk berhijrah. Mungkin banyak yang mengalami hal demikian.

Laki-laki yang baik, untuk wanita yang baik. Begitu pula wanita yang baik, untuk laki-laki yang baik.

Namun, bagaimana jika kelak jalan hijrahmu tak mengantarkan dirimu pada sosok yang kau tuju? Akankah kau merasa kecewa?

Berharap pada makhluk hanya akan menimbulkan kekecewaan. Berharaplah hanya pada Allah SWT semata.

Berdoalah.. Semoga dalam perjalanan hijrah ini, Allah memberikan hidayah kepada kita, memberikan kesadaran kepada kita bahwasannya berhijrah bukan semata-mata untuk mendapat jodoh yang baik saja sebagaimana yang kita harapkan.

Namun, lebih dari itu. Semoga kita menyadari bahwa masing-masing dari kita memang membutuhkan untuk berbenah diri. Sudah saatnya.

Tak ada yang tahu usia seseorang akan sampai kapan. Mungkinkah kita bertemu jodoh sebelum berjodoh dengan kematian? Atau sebaliknya, kematian justru mendatangi kita lebih dulu dari jodoh kita di dunia.

Allah mempunyai cara sendiri untuk memberi hidayah pada hambaNya. Tak ada yang salah dengan perasaan manusia, karena itu adalah fitrah. Mungkin melalui perasaan inilah Allah memberikan hidayah kepada hambaNya.

Niatkan semuanya karena Allah semata. Jikalau memang pada akhirnya jalan hijrah kita mengantarkan pada sosok yang kita harapkan, itu adalah hadiah, bonus dari Allah untuk kita. Semoga … J

Betapa perjalanan hijrahmu sangat berharga kawan, jika benar karena Dia.

Fenomena Masa (Muda) (Ke)Kini(an)

Menikah itu bukan untuk sehari atau dua hari, tapi untuk selamanya

Bukankah harapan tiap orang yang menikah seperti itu?

Bayangkan kita harus memegang komitmen dengan orang lain untuk kurun waktu selamanya, sampai akhir hayat
Bukan masalah yang gampang

Mungkin selama ini yang banyak kita lihat di IG2, FB2, WA2, dan lalalalala.. yang nampak adalah keindahan dari menikah sehingga membuat semua orang mendambakannya

Memang menikah itu dianjurkan, tapi tentu banyak tantangan sebelum, saat, maupun setelah menikah

Setelah sah menikah, tanggung jawab tentu menjadi berlipat ganda
Suami bertanggungjawab terhadap istri, begitu pula istri bertanggungjawab terhadap suami

Terlebih lagi setelah memiliki anak
Masih ingat kan bagaimana susah payahnya orang tua membiayai hidup dan pendidikan kita?
Belum lagi urusan ini itu dan lalalalala yang harus diselesaikan..

Itulah yang akan kita hadapi pula jika kita sudah berumah tangga

Nah, oleh karenanya menikah itu harus benar-benar dipersiapkan baik secara mental, spiritual, maupun finansial

Iya sih, nantinya kita akan berjuang bersama-sama dalam mengarungi ganasnya ombak samudera dengan bahtera rumah tangga yang telah kita bangun.. suka duka akan kita hadapi bersama, biar so sweet kayak di film-film religi romantis, apalagi kayak filmnya habibie ainun..

Tapi, tetap saja.. menikah itu bukan main-main, menikah itu bukan untuk sekejap, menikah itu bukan melulu soal kebahagiaan kita berdua yang lain ngontrak

Jadi, sudah siapkah kita?

Semoga lekas bertemu jodoh ya .. Amiin J

Rabu, 13 Juli 2016

Teruntuk Sang Hati

Teruntuk Sang Hati


(Sumber: www.vemale.com)

Bersama keheningan,
Selamat malam wahai hati..
Bagaimana kabar hati? Bagaimana kabar jiwa? Semoga Tuhan senantiasa menguatkan dan membimbingmu J Amiin..
Untuk kali ini, bukan surat teruntuk siapa yang ingin aku tulis. Hanya ingin sedikit berbagi, entah kepada siapa kelak surat ini akan dibaca. Hanya ingin berbicara kepada hati, entah hati siapa kelak yang akan mendengarnya. Hanya ingin berbagi, itu saja.


(Sumber: abiummi.com)


Wahai hati,
Masihkah kau memikirkan tentangnya? Tentang beliau yang selama ini selalu kau elu-elu kan. Tentang rasa yang mungkin kau masih baru merasakannya, disaat teman-teman seusiamu telah memiliki rasa itu jauh sebelum dirimu. Masihkah?
Wahai hati,
Masihkah kau menduga-duga? Menduga apakah beliau pun memiliki rasa yang sama. Menduga apakah rasa itu adalah takdirmu kelak. Masihkah?
Wahai hati,
Ingatlah, masih ada Tuhan tempatmu meminta. Meminta segala petunjuk dan kebenaran. Jangan sampai kau lupa terhadap-Nya. Ingatlah, masih ada mimpi dan cita yang harus dikejar. Masih ada harapan dari orang-orang yang menanti kesuksesanmu. Dan ingatlah, masih ada diri yang menunggu untuk diperbaiki. Masih ada diri yang menunggu untuk dipantaskan. Itulah dirimu.


(Sumber: abiummi.com)

Wahai diri,
Jikalau memang beliau adalah teladan bagimu, benar-benarlah meneladaninya. Kecerdasan, keramahan, dan kesederhanaan yang ada dalam dirinya. Namun, jika rasa yang kau simpan untuknya malah membuatmu semakin lupa akan kewajiban sebagai penuntut ilmu, berarti kau belum benar-benar menjadikannya sebagai teladan. Dan, berhati-hatilah. Segera buang rasa itu. Mungkin itu penanda bahwa rasa yang kau miliki adalah rasa yang salah. Bukan rasa yang Tuhan anugerahkan kepadamu, melainkan rasa itu muncul dari nafsu dan godaan syaitan belaka.
Wahai hati,
Janganlah kau terlena. Janganlah kau tertipu. Terlena dan tertipu oleh nafsu yang mengatasnamakan rasa ini. Rasa yang mungkin mulai membuatmu ketakutan. Takut jika ini semua adalah kesalahan. Takut jika belum saatnya rasa ini untuk ditempatkan. Takut jika rasa ini bukan rasa yang benar, bukan rasa yang datang dari-Nya. Takut jika rasa ini hanya berasal dari nafsu belaka yang berselimutkan kata rasa. Kau pun mungkin tak berani menyebutnya. Takut jika rasa ini membuatmu berfikir terlalu jauh ke depan tanpa ada usaha apapun untuk memantaskan diri untuk berhak merasakan rasa.
Wahai hati,
Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang baik dan positif. J


(Sumber: www.katakatagambar.com)

Teruntuk Sang Pemiliki Hati, ‘Ini sedang mendoa, entah siapa nama dalam doa. Ini sedang merindu, entah siapa yang ada dalam rindu.’
Yogyakarta, 31 Mei 2016 
09:32:00 PM
ttd 
Sahabat Sang Hati



Sepucuk Surat Balasan Teruntuk Kamu Sahabatku

Alhamdulillah.. setelah sekian lama akhirnya aku teringat akan blog ku ini .. ehehehe
Gara-gara baca kalimat terakhir dari postingan pertamaku, aku jadi teringat sesuatu :) 

"Dari surat ini, aku menyadari betapaaa... yah begitu lah.. mungkin suatu saat aku akan mem-posting lagi surat balasanku untuknya. :)" 

Nah, kali ini aku akan posting surat balasanku untuknya :) 

Bismillah…
Assalamualaikum sahabat :) apa kabar? sehat lho ya.. jaga kesehatan pokokmen.. :)
MBB.. maaf baru bales suratmu ini. Sebenernya aku bingung mau membalasnya seperti apa. Oiya, maaf kalau suratku ini gak puitis, aku bukanlah orang yang pandai merangkai kata je ..
Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu, maaf kalau selama aku jadi partnermu, aku bukanlah partner yang baik, yang bisa professional, yang bisa memberi contoh yang baik buat temen2 staff.. meskipun namaku suri tauladan yang baik :( huhu.. maaf kalau selama ini aku banyak merepotkan kamu, apa2 mesti harus diingetin dulu, hehe ngapunten nggih.. jujur saja, akhir2 ini banyak hal yang sedang aku pikirkan, apalagi sekarang aku balik ke asrama, jadi waktuku agak sedikit banyak terbatas.. aku sekarang harus adaptasi lagi buat di asrama, apalagi anak2 di asrama kadang suka bandel dan ngeyelan.. haduh duh duh.. poseeng poseeng kalau kata prof b****.. haha yah begitulah..
Oiya, aku mau bikin pengakuan dulu… sebenernya kmaren aku sempat kirim surat juga buat mbak kita.. dibaca ya.. ini mewakili apa yang pengen aku sampaikan buat kamu.. Maaf sebelumnya..
Judul filenya “catatan si koakh buat sang masulah”
Assalamualaikum mbak :D, gimana kabar? Sehat kan ya mbak? Semoga mbak slalu dalam lindunganNya.. amiiin :)
Mbak.. saya mau crita .. hehe >,<
Mbak, sebelumnya saya minta maaf ya kalau akhir2 ini saya jarang kelihatan, jarang nongol, gak pernah ikut kegiatan, atau yang lain-lain.. hehe (dari dulu deh kayaknya :p)
Sejujurnya saya lagi fokus buat di asrama, hmm gimana ya mbak.. sebenernya orang tua saya udah minta saya buat jd musyrifah sejak saya lulus sma kmaren, tapi saya belum siap jadinya nunggu2 dulu smpe skarang.. nah mungkin skarang sudah waktunya saya buat memenuhi amanah orang tua saya setelah kurang lebih dua tahun saya menunda amanah dari orang tua saya, saya pengen memaksimalkan di sini mbak (jadi musyrifah).. apalagi ini tahun pertama saya, saya masih butuh adaptasi (saya nek adaptasi ki lama e mbak :() ya walaupun dulu hampir 6 tahun juga saya di asrama, tapi rasanya beda.. sudah beda posisi (aduh bilangnya apa ya??) . yah.. dulu disini saya masih anak (siswa), saya mau nglanggar atau mau ngeyel atau mbandel itu mah terserah saya, namanya juga anak2..masih wajar2 aja. Tapi setelah saya jadi musyrifah, apa yang dilarang buat anak2nya ..sebisa mungkin saya juga menghindari.. yang paling susah buat saya à harus pulang ke asrama sebelum maghrib.. mungkin karena dulu semester 1 smpe 4 saya slalu pulang malam jadi skarang masih gmn gtu klo setiap sore harus buru2 pulang, dulu sebelum jd musyrifah mah saya santai2 aja, jarang banget sampe di rumah matahari itu masih kelihatan.. tapi, sekarang…. Hehe, sebisa mungkin saya menghindari kegiatan di sore hari kecuali kuliah, karena saya juga terkendala kendaraan mbak, kalau naik trans nanti lamaaa banget, kalau terpaksa kira2 pulangnya sore saya bawa sepeda ..hehe tapi harus mengayuh sekuat tenaga (45 menit perjalanan).. mengejar matahari sebelum dia tenggelam hahahahha (maaf geje :P) . lelah?? Iya pasti.. yah namanya juga perjuangan, mana ada perjuangan yang tidak melelahkan. à anak2 gak boleh bawa hp, jadi sebisa mungkin saya gak mainan hp di depan mereka (terutama mainan sosmed), saya sadar, skarang udah jarang menyapa siapapun lewat hp (sosmed dll). Kalau mainan hp biasanya dan enaknya di atas jm smbilan … tp gak enak kalau mau menyapa (teman2 tertentu hehe:)) kemalaman. JMA begitulah katanya. hehe
Oiya mbak, kadang saya merasa kalau waktu yang saya pilih ini belum tepat (buat saya jadi musyrifah) tapi masak iya, saya mau nunda lagi amanah dari orang tua. Masak iya baru setelah lulus kuliah saya jadi musyrifahnya.. (nanti menikahnya kapann?? *yang ini abaikan mbak >,< haha).. saya masih pegang dua organisasi, dan di dua2nya saya masih sama2 jadi PH. Kadang saya bingung, gimana?? Apalagi kalau kegiatan bisa dipastikan rapat-rapatannya di sore hari. Terbengkalai.. (atau saya sengaja membengkalaikan?? *entahlah -_-) . sejujurnya saya gak enakan mbak sama temen , tapi mau gimana lagi .. saya juga gak enak sama partner saya di asrama kalau setiap hari saya yang pulang telat terus, gak enak juga sama pamong dan anak2 di asrma. Saya dulu udah pernah bilang ke temen, kalau gini gini gini (apa ya?? Panjang mbak) kalau saya udah gak bisa sering2 pulang telat , ke temen2 t**** juga.. tapi mungkin saya kurang detail kali ya mbak.. kalau larut saya gak mendampingi sampai selesei boleh gak sih mbak? Ehehehhe T-T
Kadang saya masih belum betah di asrama ..padahal ya rumahnya deket, tp bukan masalah itu >,<.. mungkin karena saya masih terlalu egois, masih belum dewasa. Masih suka terbawa emosi kalau menghadapi anak2. Kadang baru capek2nya pulang kuliah, belum juga duduk, anak2 udah ketuk2 kamar minta sms (alayyy :p) bukan masalah pelit atau gak mau kasih pinjem atau gak mau pulsanya habis sih mbak, saya hanya butuh waktu buat sendiri, pengen juga punya privasi ,,buat ngapain kek, ngerjain tugas kek atau apalah.. kadang saya sama partner saya kalau memang lagi males nemuin anak2 kita sepakat buat gak bukain pintu..alasannya boci dan boim à bobok ciang dan bobok imut hahah :D habisnya.. mereka nunggu2 kita pulang Cuma hp nya yg di cari, kan malesi banget … yah gitu deh mbak, saya merasa jahaatttt ^_^ hahahahahahahahaaaa
Hmmm.. apalagi ya mbak. Kadang pengen berangkat pagi, tapi nanti adaa aja yg minta ini lah itu lah.. obat sakit surat ijin sakit kalau ada yang sakit.. sebenernya musyrifah yang paling cuek itu saya, aduhh saya belum pandai memperhatikan orang, apalagi di asrama ada 78 anak, saya setengah2an sama partner saya.. bagi2 PJ anak. Gimana ya? Belajar juga jadi guru.. harus memahami karakter peserta didik haha -_-‘. Mereka beda2 mbak, ada yg manja, ambisius, malesan , ngeyelan, rame (tiga terakhir ini paling banyak) tapi ada juga yang rajin (kadang saya minder sendiri..hehe) tapi anak2 di asrama saya masih mending drpd salah satu asrama lain yg memang anak2nya pd ngeyelan bnget. Kalau malem.. kadang juga harus ngrekap apalah gtu, kayaknya waktu berjalan begitu cepat.. tau2 udah jm Sembilan ..dan saya udah ngantuk ..belum nggarap tugas.. di kampus ngantukan.. lebih ngantukan dibanding 4 semester sebelumnya..
Kadang hal sesepele apapun ..saya mikirnya terlalu kenceng ..(kok gini banget sih hidup guee?? Prasaan dulu musyrifahku gak gini2 amat deh..nyantai, kok aku gini banget ya??) .terlalu bercabang pikirannya. Jadi musyrifah itu dilema mbak, gak ada musyrifah yang gak disebelin sama anak2nya, sebaik apapun.. dilema.. kalau kita terlalu longgar.. anak2 seneng, tapi kita kan punya tanggung jawab sama madrasah, sama orang tua mereka, .. tapi kalau kita terlalu ketat.. mesti anak2 gak suka, tapi ya mau apa lagi, madrasah menetapkan aturan kan buat kebaikan semuanya, terutama anak2nya. Jadi musyrifah itu ada beban moral tersendiri buat saya.. beban moral trhdap madrasah, ada kewajiban yang harus saya laksanakan.. apalagi ini sekolah saya sendiri, yang udah baik banget sama saya.. seolah-olah ada hutang budi yang harus saya bayarkan.. ada beban moral terhadap orang tua wali.. “mbak.. nitip anak saya ya, nanti kalau males diingetin aja “ “oh iya buk, “iya pak,” dulu pernah adak bapak wali murid yang  minta ngobrol2 sama saya, cerita intinya nitip anaknya gtu, kan saya jadi gmnaaa gtu… dan yang paling penting ada beban moral trhdap orang tua saya, secaraaa.. seumur hidup dr sblm lahir, lahir, smpe skarang bapak ibuk yang .. yaaahhh intinya bapak ibuk udah baiiiikkk banget, mungkin ini waktunya saya memenuhi keinginan beliau berdua, saya pengen memaksimalkan di sini mbak, di asrma.. :)
Oiya mbak, kalau ada agenda di hari minggu.. mohon maaf banget saya gak bisa ikut. Tiap hari minggu ada rapat rutin koordinasi musyrifah dengan madrasah ..ada kajiannya juga. “Kan rutin? Agenda yang ini kan Cuma sesekali aja.. hehe ijin dulu lah” inget banget dulu temen kita pernah bilang begitu ..hehe (maaf sebut merk) gak bisa e mbak, soalnya di rapat itu nanti kita laporan perkembangan anak di asrma  (udah kayak posyandu ajeee.. hahahaha :p), disitu nanti kita ada sharing juga sama guru BK dan musyrifah asrama lain.. yah intinya itu penting banget karena menyangkut si anak, apalagi musyrifah di asrama saya Cuma berdua ( saya dan mbak partner). Kalau yang satu gak berangkat, kan kasian yang satunya Cuma sendiri,kadang capek juga sih, setiap malem minggu kita ngrekap pelanggaran anak, manggilin anak2 yang nglanggar, mem-poin, mending2 anaknya manut, tapi biasanya mereka rewel minta kortingan poin. L hmmm.. apalagi di rapat ini kita juga mesti diingetin kalau kita punya kewajiban buat mbimbing dan membina anak2, saya ngrasa masih belum melakukan apa2 buat mereka, apalagi musyrifah nanti bakalan ikut rapat kepribadian di akhir semester yg nentuin nilai rapor mereka dan otomatis nentuin kenaikan kelas mereka. Saya takut kalau rapatnya pas banget sama agenda Ma***** :( T-T semoga gak. Dilema.. lagi.
Yah gtu aja mbak.. kesimpulan yang dapat saya ambil dari celotehan saya sendiri ini.. saya masih belum dewasa, gimana ya mbak caranya.. (katanya menikah itu mendewasakan haha.. tapi mbak dulu deh, yang muda yang nanti aja.. setelah yang tua … hahahahha *plisss tolooong yang ini abaikan aja >,<). Saya masih egois, masih belum bisa mengatur waktu. Makasih banget ya mbak udah mau dan menyempatkan baca ini, Cuma sekedar memberi tahu aja.. maaf kalau mengganggu .. semoga kita diberikan yang terbaik ..amiin

Yogyakarta, 16 Oktober 2015
:)
(Saya si A*** T****)

(oiya, berdasarkan wa grup **** yang saya baca, pagi ini ada syuro ****.. iya ya?? Maaf ya mbak saya gak datang,, nulis ini soalnya.. heheh..)
Nah.. jadi kondisinya seperti itu teman.. aku minta maaf banget kalau akhir2 ini aku jarang ngeh atau gimana.. maafkan aku.. tapi aku akan tetap berusaha sekuat mungkin sampai amanah ini selesai.. sampai Ma***** nanti.. ingatkan aku ya.. aku sering lupa.. kita saling menguatkan ya (meskipun selama ini yang lebih terlihat adalah kamu yang menguatkan aku :’)). Terimakasih ya.. kamu Direktur yang super.. direktur yang strong.. TOP lah pokoke :).
Mungkin ini aja.. kapan2 disambung lagi, terimakasih sudah mau menyempatkan baca surat ku…
Maaf kalau geje hehe..
Mumumumumumumuuuu :*
Wassalamualaikum.. :) Semoga Allah menguatkan ukhuwah kita ya .. amiiin :)

 Nah, jadi seperti itulah surat balasan untuk sahabatku.. bukan untuk apa-apa aku mem-posting surat-surat ini (bukan pula minta di ciye ciye in *siapa pula yang mau menciye ciye-_-'). Hanya supaya surat ini bisa jadi kenangan lika-liku persahabatan dan ukhuwah kita.

Semoga bermanfaat dan menginspirasi ya :)